Rabu, Mei 6

Bung...

Mendengar salah satu calon anggota legislative berorasi menebar janji dari atas podium, mengingatkan saya pada penggalan lirik lagu “Oemar Bakrie”, yang di nyanyikan oleh Iwan Fals, “…selalu begitu dari dulu waktu jaman jepang…”, dikisahkan Oemar Bakrie adalah seorang PNS yang sehari – hari pulang pergi ke sekolah tempat beliau mengajar dengan mengendarai sepeda ‘kumbang’ atau kalau orang jawa bilang ‘pedah onthel’, jalanan yang di laluinya tetap saja rusak, tak pernah diperbaiki, begitu pula dengan upah ‘keringat’-nya, kalaupun jumlahnya dinaikan itu pasti setelah harga – harga kebutuhan naik, atau sebaliknya, bila gaji PNS naik, tak lama menyusulah harga – harga itu naik, asal jangan harga – harga naik, gaji PNS malah tak naik – naik…
Menarik memang, menyimak lirik - lirik lagu yang dibawakan oleh Iwan Fals yang sebagian besar berisi kritik social dan kehidupan, jarang memang penyanyi Indonesia masa kini yang mampu mengemas sebuah fenomena social kedalam sebuah lagu, sejarang Mahasiswa kritis di Kampus saya, seperti yang di keluhkan bapak – ibu dosen pengajar yang terhormat, lebih jarang lagi bila kita kembalikan pikiran kita ke topik yang saat ini sedang hangat – hangatnya di bahas, mulai dari ruang redaksi yang jadi tempatnya orang sibuk sampai kamar kos tempatnya leyeh – leyeh, atau ruang siaran yang penuh obrolan sarat fakta sampai di warung kopi dengan celoteh penuh bunga, menemukan Ratu Adil, Satria Piningit, Mahdi-nya Dunia Demokrasi Indonesia, atau tepatnya, Anggota Legislatif yang bervisi kemajuan rakyat, dan bermisi menegakkan demokrasi sedemokrasi dekmorasinya.
Sejauh ini, memang sangat jarang bin sulit dapat menemukan seorang politkus yang memiliki visi berbeda dari lainnya, umumnya, meskipun berbeda partai dan warna bendera, toh lahan garapannya tetap sama. Pendidikan, Kesejahteraan, Ekonomi, Kesehatan, dll. Janji – janji di gelontorkan tanpa ada unsur pendidikan tentang penanganan krisis dan pembangunan sektor - sektor tersebut kepada rakyat, sangat disayangkan, jika benar yang para calon anggota ‘panca indera’ rakyat tersebut tuju adalah kemakmuran dan kemajuan rakyat, mengapa tidak dibeberkan saja langkah – langkah yang akan mereka tempuh, agar rakyat tak seperti membeli obat untuk batuk berdahak, padahal batuknya tidak berdahak, akhirnya yang terjadi malah radang tenggorokan!.
Sah – sah saja bila ada semacam ketakutan dari para calon wakil rakyat tersebut untuk membeberkan kiat dan jalan yang mereka tempuh nanti setelah resmi terpilih jadi anggota penting masyarakat sok penting, tapi bukankah semua demi kemajuan bersama?, bukankah mereka juga akan merasakan dampaknya meski bukan mereka yang mengendalikan kemudi perubahan?, atau malah mereka belum tahu cara paling tepat untuk menggarap lahan tandus tersebut?, wah, kalau memang seperti itu, malah mirip salah satu adegan dari Film Warkop DKI, diceritakan Indro disuntik Didin Boneng, yang sakit perut, yang gak terasa mata, bahaya pak!.
Tidak tahu saja sudah bahaya, celaka tiga belas kata orang – orang tua, malah ada indikasi tak mau tahu dari para calon bapak – ibu yang terhormat, gagasan – gagasan dan konsep – konsep para akademis yang wegah terjun ke dunia politik praktis – mungkin karena tahu bagaimana cara mengamalkan ilmu politiknya – tentang bagaimana idealnya membangun image dan reputasi berpolitik dianggap sepi, kalau memang begini, sudah seperti bangsal 13 jadinya, seram!.
Mengutip dari paragraph pertama “Visi dan Misi Kepemipinan” yang dirumuskan Dr. H. M. Amien Rais, di terbitkan oleh Panji Masyarakat No.31 Tahun I, 17 Nopember 1997, Visi dan Misi Kepemimpinan dapat dibedakan kepada empat “citra”, “tipe”, atau “komponen” kepemimpinan. Keempat citra kepemimpinan itu adalah: crusader (Burns; Stoessinger), salesperson (Neustadt; Tucker), agen (Kellerman, Rockman), dan Fire Fighter (Fiedler & Chemers).
Wah, di nusantara banyak yang seperti itu, Crusader atau Mujahid: ada, salesperson atau penjual: ada juga, agen: banyak, Fire Fighter atau pemadam kebakaran: apalagi!!!. Sayangnya kebanyakan manusia – manusia di negeri ini kadang salah kaprah dengan istilah – istilah.
Mujahidin yang seharusnya membela kebenaran dan keselamatan kaumnya malah pamer otot maen betot sambil sewot hajar sana sini sambil nyolot, robohkan gubuk reyot, bangun real estote!.
Penjualnya sayangnya bukan orang – orang kreatif, yang dijual malah apa – apa yang ada di dalam rumah, pesawat telpon, kasur, dipan, lemari, karpet, tv, kompor, guci, malahan dompet juga dijual.
Agennya siyh gak terlalu salah, Cuma agen minyak mentah, terus datengin minyak matang, meski terus – terusan norokin.
Yang paling unik tentu saja Fire Fighter alias Pemadam Kebakaran, boro – boro datang tepat waktu, adanya telat terus, itupun kalo bukan dia sendiri yang bakar itu bangunan.
Tapi memang tidak mungkin para calon anggota tersebut tidak tahu tentang cara mengatasi persoalan – persoalan diatas, malah tak sedikit juga yang sangat tahu luar dalamnya, justru yang begini bisa jadi kiamat, jatah buat rakyat di embat, rakyat ngumpat – ngumpat, si “bapak” tutup telinga sambil iqamat, maklum, nasib rakyat di lubang lahat, kalau memang begitu, selamat pak!.
Tambah lama tambah runyam memang, ganti orang, kita harus belajar kecendrungan lagi, lama – lama capek sobat, lelah kawan, orang – orang baru, tapi nyanyiannya tetap itu – itu saja. Kovernya saja yang ganti, tapi lagunya tetap lama.
Demonstrasi, orasi, lobi - lobi, petisi, sampai bernyanyi, harap tinggal harap, mimpi tetap mimpi, akhirnya bingung sendiri…
“…dikantong safarimu kami titipkan, masa depan kami dan negeri ini, dari sabang sampai merauke…”, isi surat Bung Iwan buat wakil Rakyat, tanpa amplop, tanpa kaleng…
Yaah… bila ada masa depan untuk negeri ini… Bung…